...SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN...
...TETAP WASPADA TINGKATKAN KEAMANAN LINGKUNGAN SELAMA LIBUR LEBARAN...

6.5.08

Kisah Sang Mentor (II)

Kisah Sang Mentor (Bagian II)

Sampai di tempat yang dituju, ia heran karena ada sebuah mobil jenis
niaga parkir di depan warung. Meski begitu, ia tetap bergegas masuk ke
dalam ruang tamu. Di situ ia menjumpai seorang pria sedang duduk
menunggu sendirian sambil membalik-balik majalah usang yang memang
tersedia di meja. Ketika pria ini menoleh ke arahnya, lagi-lagi Wawan
terheran-heran, karena ternyata sang tamu adalah seseorang yang sudah ia
kenal. Bahkan, amat sangat kenal, karena dia inilah salah seorang
pejabat tinggi dari perusahaan pesaing terberatnya, PT Harimau Sakti.
Mereka sudah beberapa kali bertemu ketika mengikuti tender di
instansi-instansi pemerintah.

"Hai, Pak Hadi!? Lho kok bisa ada di sini Pak?", Wawan menyapa sambil
mengekspresikan keheranannya. Yang disapa segera berdiri menyambut tidak
kalah akrabnya: "Halo Pak Darmawan..! Apa kabar, Pak? Saya sudah
menunggu Bapak dari setengah jam yang lalu.. Selamat datang dan selamat
jumpa Pak!", sambil tertawa ia mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Lho..? Pak Hadi menunggu saya? Ah, Bapak pasti bergurau ya..?", Wawan
mencoba tersenyum sambil berkata dalam hati, ada lelucon apa ini?

Namun orang yang dipanggil Pak Hadi itu menjawab dengan serius: "Benar
Pak Darmawan. Saya diperintah Pak Citra untuk datang ke mari menunggu
Bapak. Katanya ada yang mau dibicarakan dengan beliau.." Bagi Wawan,
kalau di dunia ini ada teka-teki yang paling sulit, maka kejadian itu
merupakan teka-teki yang lebih sulit lagi untuk ditebak. Tapi seorang
petinggi perusahaan sekaliber Hadi tentu tidak akan melecehkan dirinya
dengan gurauan yang tidak pada tempatnya. Ia merasa air mukanya menjadi
bodoh, lalu bertanya lirih: "Pak Citra itu siapa..?"

"Ini lho, Pak? Yang punya rumah dan warung ini, namanya Pak Citra. Dia
bos saya, pendiri sekaligus pemilik perusahaan PT Harimau Sakti..!" Pak
Hadi menjelaskan.

"Oh .. eh.. Pak Soma maksud Bapak?", tanya Wawan gugup.

"Iya! Di kampung ini, Pak Citra memang dikenal dengan nama Pak Soma.
Tapi di kantor kami beliau dipanggil dengan sebutan Pak Citra. Kan nama
lengkap beliau: Citra Sumawidjaya. ."

Penjelasan Hadi yang terakhir ini benar-benar membuat limbung Wawan.
Bagai ada petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan olehnya.
Otaknya berputar: "Aku kenal Pak Soma dari kecil. Ia kan cuma seorang
warga sederhana dari kampung ini?" Kalau betul Pak Soma itu seperti apa
yang dijelaskan oleh Pak Hadi ini, maka sungguh ia akan malu karena
seakan-akan telah "pamer kekayaan" dengan berhajat memperbaiki rumah
seorang bos besar pemilik perusahaan nasional bertaraf internasional.
Dan pantaslah kalau 20 tahun yang lalu, sang pemilik warung itu mampu
memberikan petuah-petuahnya yang "sophisticated. Tapi yang betul-betul
membuatnya tidak habis pikir, mengapa Pak Soma harus membawakan diri
sebagai seorang tua lugu dan sederhana yang hidup di kampung? Dan
bagaimana pula caranya dia bisa mengawasi dan mengatur perusahaan dari
sebuah kampung yang jauh dan terpencil ini?

Belum selesai rasa terkejut dan tidak percaya yang meledak di benak
Wawan, tiba-tiba terdengar suara salam: "Assalamualaikum. ." dari dalam
rumah dan sesosok bayangan menerobos masuk ruang tamu. Ternyata ialah
Pak Soma, atau Pak Citra Sumawidjaya. "Alaikum salam..", hampir serentak
Wawan dan Hadi menjawab sekaligus menghampiri serta menjabat tangan
tokoh yang sudah sangat senior ini. Wawan bahkan sampai mencium tangan
serta memeluk Pak Soma-nya itu sambil setengah membungkuk, tanda rasa
hormat yang sangat dalam.

Untuk beberapa menit terjadi basa-basi di antara mereka, sebelum
kemudian Pak Soma mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk. Ibu Soma pun
lantas bergabung dengan mereka. Tuan rumah tersenyum ramah lalu berkata:
"Pertama-tama saya ingin mohon maaf sebesar-besarnya pada Wawan, yang
saat ini pasti dilanda kebingungan. Iya kan Wan?". Semua yang hadir
tertawa dan Wawan pun mau tidak mau juga tertawa tersipu-sipu. "Benar
Pak Soma. Saya bingung dan tolong jelaskan semua ini.." ujarnya.

"Baik..baik. Langsung saja saya ceritakan semua.. Saya orang asli
kampung ini. Hanya saja, karena kedua orang tua saya meninggal pada saat
saya masih muda, maka saya putuskan untuk pergi merantau ke kota bersama
istri. Waktu itu saya baru berusia 20 tahun, sedangkan kamu belum ada,
Wan", Pak Soma mengawali ceritanya. "Rumah ini kami titipkan pada
seorang saudara, dan pergi dengan bekal sekadarnya saja."

"Di kota kami numpang tinggal di rumah seorang teman dari orang tua saya
selama kira-kira dua tahun untuk memulai usaha. Syukur bahwa Tuhan
memberkahi usaha kami sehingga dalam waktu 10 tahun, usaha tersebut
berkembang pesat sekali. Kami tidak saja mampu membangun rumah besar
untuk tempat tinggal, tapi bahkan bisa membangun 2 buah perusahaan
sekaligus dalam kurun waktu itu. Tahun-tahun selanjutnya bahkan
merupakan rangkaian kesuksesan, sehingga terbentuklah sebuah kelompok
usaha PT Harimau Sakti seperti yang sudah kamu tahu, Wan..", kata Pak
Soma sambil menoleh ke arah Darmawan.

"Pada tahun ke 16 perantauan kami di kota, saya putuskan untuk
mengangkat sebuah Dewan Direksi yang akan mengelola perusahaan secara
langsung, lalu kami kembali ke kampung ini. Saya ingat benar, kamu waktu
itu kamu baru berusia 9 tahun, Wawan.."

"Ya, samar-samar saya ingat kejadian itu Pak..", kata Darmawan lirih.
"Tapi, sebetulnya apa penyebabnya sampai Bapak memutuskan kembali ke
kampung, padahal waktu itu perusahaan Bapak sedang maju- majunya?"

"Kamu tahu Wan. Saya ini orang kampung dan semula merantau ke kota
karena terpaksa. Ternyata, suasana pergaulan bisnis di kota amat berbeda
dengan kehidupan di kampung. Saya merasakan, lingkungan bisnis di kota
itu tidak nyaman, orang berhubungan satu sama lain dengan senyum palsu,
tiada ketulusan, tampak akrab tapi sebenarnya mencari kesempatan untuk
saling menjatuhkan satu sama lain. Sahabat hanya ada pada saat kita
jaya, menghilang pada saat kita susah. Segala sesuatu diukur dengan
uang. Kalau tiada uang, maka tidak ada senyum, tidak ada pula sahabat.
Itulah dunia bisnis di kota ."

Sampai di situ nada suara Pak Soma agak meninggi. Lalu ia melanjutkan.
"Lain halnya dengan di kampung. Di sini, persahabatan dilaksanakan
secara murni. Basisnya persaudaraan semata. Tiada pamrih, tiada intrik
dan tiada provokasi yang disebabkan uang. Suasana tenang, damai dan
tenteram. Saya tidak bisa lari dari kenikmatan kampung seperti ini. Oleh
karenanya, begitu usaha saya mapan, saya putuskan kembali ke sini. Semua
urusan usaha saya percayakan pada Direksi.

Salah satu dari anggota Direksi itu, ya si Hadi ini..", kata Pak Soma
sambil menoleh ke Pak Hadi. Yang disebut terakhir ini tersenyum.

"Lantas bagaimana cara Bapak sebagai pemilik, memantau kinerja
perusahaan itu Pak?. Kampung ini kan sangat jauh dari kota ? Dan mengapa
pula Bapak harus terus menerus menyamar, membawakan diri sebagai penjaga
warung sederhana selama bertahun-tahun? " Wawan bertanya.

"Sudah saya katakan bahwa saya sangat menikmati suasana kampung yang
damai dan tenteram ini. Saya tidak mau kehilangan itu. Kalau saya
kembali ke sini dan berubah menjadi orang kaya raya, maka pasti
pandangan orang-orang sekitar jadi berubah pula. Mereka akan berkata,
Pak Soma sekarang bukan Pak Soma yang dulu lagi. Pak Soma sekarang ini
bau duit. Lantas, orang-orang akan memasang senyum palsu saat berjumpa
dengan saya dan memperlakukan saya dengan cara yang berbeda. Nah itulah
yang akan merusak suasana. Bisa-bisa budaya kota yang materialistis dan
penuh kepalsuan akan pindah ke sini. Itu yang tidak saya kehendaki. Maka
sebisa mungkin saya berusaha untuk tetap menjadi Pak Soma yang dulu.."

"Tentang bagaimana saya mengontrol perusahaan? Kamu kan sudah tahu,
bahwa sebuah perusahaan yang sudah mapan, akan tidak memerlukan lagi
kehadiran pemiliknya. Semuanya sudah berjalan berdasarkan sistem yang
baku . Juga ada Dewan Direksi berikut stafnya yang terdiri dari para
manajer yang akan mengelola operasional harian. Paling sering saya hanya
akan datang ke kantor sekitar 1 atau 2 bulan sekali, saat di mana saya
pamit dengan tetangga untuk belanja barang dagangan warung saya..hehe..
", Pak Soma memberi penjelasan sambil tertawa.

"Memang di samping itu, saya tetap berusaha berkomunikasi secara
intensif dengan si Hadi ini di kota . Caranya? Mari ikut saya, saya akan
tunjukkan", ajak sang tuan rumah. Semua yang hadir bangkit berdiri lalu
mengikuti Pak Soma dengan perasaan ingin tahu.

Bersambung ke Bagian III...

CH

No comments: