...SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN...
...TETAP WASPADA TINGKATKAN KEAMANAN LINGKUNGAN SELAMA LIBUR LEBARAN...

5.5.08

Kisah Sang Mentor (bagian I)

Kisah Sang Mentor (Bagian I)

Pada suatu siang hari yang teduh, sekitar jam 11, sebuah mobil mewah
bermerek BMW jenis 720i warna cerah, meluncur perlahan memasuki kampung.
Mobil yang masih baru dan mulus itu tampak kontras dengan suasana
sekitar yang memantulkan citra pedalaman yang sederhana. Pengemudinya
seorang pria ganteng berusia 40-an tahun, kelihatan mengendarai
kendaraannya dengan santai sambil sebentar-sebentar menengok ke kiri dan
ke kanan, seakan takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.

"Hm, kampungku ini sudah berubah, banyak kemajuan. Rumah-rumah penduduk
sekarang bagus-bagus dan rapi. Jalanannya beraspal dan mulus.
Penduduknya makin ramai dan banyak kegiatan bisnis. Walau begitu,
suasananya tetap asri, damai dan tenteram sebagaimana umumnya sebuah
kampung di kaki pegunungan.. " ia bergumam sendirian. "Ah..tak terasa
sudah 20 tahun berlalu..", dan ia menghela nafas panjang.

Setelah berkendara beberapa menit dari mulut kampung, BMW berhenti di
depan sebuah rumah yang di bagian samping-depannya difungsikan sebagai
warung kelontong. Pria itu tidak langsung turun dari mobilnya, melainkan
berpaling memandang ke arah warung tersebut. Suasana sepi-sepi saja,
hanya terlihat seorang remaja putri sedang membeli sesuatu, dilayani
oleh seorang ibu-ibu tua.

Pikirannya pun menerawang. "Ini rumah Pak Soma. Pemilik warung yang
sederhana, namun siapa sangka nasihatnya yang bijak telah membuat aku
menjadi pengusaha sukses dan kaya-raya seperti sekarang. Sebagai balas
jasa, aku telah berjanji pada diri sendiri bahwa aku akan memperbaiki
rumahnya ini serta membangunnya menjadi sebuah rumah besar yang cukup
mewah dan lengkap. Dan warungnya akan aku sulap menjadi sebuah mini
market agar penghasilan Pak Soma dan isteri dapat meningkat.." . Lalu
ingatannya berkilas balik jauh ke sebuah peristiwa yang terjadi 21 tahun
silam. Ia ingat benar betapa waktu itu ia baru berusia 19 tahun,
bertekad mengadu nasib pergi ke kota .

Atas anjuran kedua orang tuanya, ia pamit kepada Pak Soma, seorang
tetangga, pada malam sebelum keberangkatannya. Di situlah, entah
bagaimana, seorang bapak setengah baya yang sederhana, memberikan
berbagai petuah kepadanya tentang kiat-kiat berusaha. Ia sendiri tidak
pernah mengerti, bagaimana orang kampung pemilik warung seperti Pak Soma
bisa memberikan nasihat-nasihat yang begitu canggih, seakan ialah
seorang pengusaha besar di negeri ini. Namun demikian, itulah
satu-satunya pegangan yang ia miliki untuk berjuang di perantauan. Ia
pun berangkat dengan percaya diri keesokan paginya..

"Ah, tentu beliau sudah tua sekali sekarang..", pikirnya. Ketika ia
melihat bahwa remaja putri yang berbelanja sudah selesai, ia buru- buru
turun dari mobil. Ia mendekat seraya memandang pada ibu-ibu tua penjaga
warung, dan segera tahu siapa yang dipandangnya. "Selamat siang, Bu
Soma..", sapanya sopan. Perempuan itu menoleh dan memandang penuh
selidik. "Ya..? Siapa..ya..? "

"Saya Bu,.. Darmawan, anak Pak Rusli, tetangga Ibu.. Ibu lupa?"

"Darmawan?.. Eh.. Wawan..? Wawan ya?"

"Iya benar Bu Soma. Ini Wawan. Bagaimana kabarnya Bu? Wah, ibu kelihatan
sehat sekali.."

Seketika wajah tegang Ibu Soma mengendur. "Oh.. benar kamu Wan? Baru
datang..?" Ia langsung menghampiri dengan ramai senyuman, menarik tangan
pria ganteng itu sambil berkata: "Ayuk masuk.. wah kamu sudah dewasa
sekarang ya! Necis dan ganteng lagi… Syukur.. syukur alhamdulillah. ."

"Mari..mari silahkan duduk, Nak. Jangan malu-malu. Rumah ini masih
seperti dulu, jadi anggap seperti rumahmu juga..", si Ibu berusaha
mencairkan kekakuan.

Pria yang dipanggil Wawan itu masuk ke ruang tamu lalu duduk di sebuah
kursi. Percakapan basa-basi berlangsung beberapa saat, sampai akhirnya
sang pengusaha sukses bertanya: "Pak Soma ada, Bu? Saya kangen banget
sama beliau.." Bu Soma menjawab:" Oh, Bapak masih di masjid, ada urusan
di sana . Mungkin 1 jam lagi baru kembali, sehabis sholat dzuhur.."

"Oh ya? Kalau begitu, saya tinggal dulu ya Bu? Mau lihat rumah ibu saya
di kampung ini, sudah 20 tahun gak pernah saya lihat lagi rumah itu.
Entah seperti apa sekarang..? Nanti jam 2 saya balik lagi ke sini…" Bu
Soma tertegun sejenak, tapi segera berkata: " Iya baik Wan. Nanti saya
kasih tahu Bapak, biar dia tunggu di sini sampai jam 2.."

Sebelum pergi, Darmawan bercerita pada Bu Soma bahwa ia selama ini
merasa sangat berhutang budi pada Pak Soma, karena kesuksesannya
sekarang adalah berkat nasihat dan petuah yang diberikan secara serius
oleh suami perempuan itu. Dan ia langsung mengutarakan niatnya untuk
membalas budi dengan jalan merenovasi total rumah serta warung milik
pasangan suami isteri tersebut. Ibu Soma tersenyum lebar mendengar hajat
"si Wawan".

Rumah yang dimaksud Wawan sebagai "rumah ibunya" itu hanya berjarak
beberapa puluh meter dari rumah Pak Soma. Dalam sekejap ia sudah sampai
di sana . Kedua orang tuanya tidak lagi tinggal di situ, karena sudah
sejak lama ia ajak ke kota , pindah ke sebuah rumah yang khusus ia
bangun. Rumah itu ditunggui oleh adik sepupunya, yang kebetulan sedang
duduk-duduk di ruang depan sambil ngobrol dengan beberapa orang tetangga
dekat. Bukan main kagetnya mereka ketika mengetahui anggota keluarga
yang sudah 20 tahun lebih menghilang, kini muncul begitu saja. Dengan
gembira mereka "berkangen-kangenan " sejenak, saling peluk, bersalaman
sambil saling tanya, setelah itu Wawan pergi ke belakang membersihkan
diri dan segera beristirahat.

Sambil selonjor kaki di sebuah kursi malas, Wawan menerawang kembali.
"Semua keluarga dan famili di kampung ini gembira dan bangga bahwasanya
aku telah menjadi pengusaha yang sangat sukses. Tapi mereka tidak tahu
bahwa aku sendiri masih merasa ada ganjalan di hati. Sesukses-suksesnya
aku dan sebesar-besarnya perusahaanku, masih belum apa-apa dibanding
dengan perusahaan saingan yang satu itu.." Wawan terbayang akan sebuah
nama – nama perusahaan saingannya – PT Harimau Sakti, yang selama ini
membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Sebab, setiap bersaing dengan
perusahaan ini, pihaknya selalu kalah. Di bidang bisnis ritel,
perusahaannya kalah dalam merebut pangsa pasar. Di segmen korporasi, ia
juga kalah.

Terakhir, dari 8 kali tender pemerintah, ia hanya berhasil merebut 1
kali kemenangan. Selebihnya, 7 kali tender dimenangkan oleh PT Harimau
Sakti. Hal inilah yang selama ini dirasakan bagai duri dalam daging oleh
Wawan. Berbagai jurus bisnis dan strategi telah ia jalankan, tapi tidak
merubah peta percaturan bisnisnya, ia tetap kalah. "Apa yang salah
dengan ku?", demikian pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam otaknya.
Lelah berpikir, tanpa disadari akhirnya ia tertidur di kursi malas.

Tepat jam 2 siang, Wawan terkejut dan bangun dari tidur. Melihat jam
tangan, ia bergumam sendiri: " Wah, sudah waktunya. Pak Soma pasti sudah
menunggu.." Dengan sigap ia sambar kunci mobil dari atas meja, langsung
berlari ke luar menuju mobilnya yang diparkir di halaman.

Tanpa membuang waktu lagi, ia masuk ke dalam kabin kemudi, menghidupkan
mesin dan seketika itu juga meluncur menuju rumah Pak Soma. "Aku tak
ingin pertemuan ini meleset dan mengecewakan bintang penolongku.. ",
katanya dalam hati.

(Bersambung ke bagian II…)

CH

No comments: