...SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN...
...TETAP WASPADA TINGKATKAN KEAMANAN LINGKUNGAN SELAMA LIBUR LEBARAN...

25.2.08

Menempurungi Diri? Capek Deeeh...

Di dalam pendeknya pengetahuan yang saya miliki, saya mengeal suatu prinsip “beribadah sekuat tenaga seolah-olah akan mati dan berlomba di dunia seolah-olah akan hidup 1000 tahun”. Dari hal ini saya melihat bahwa manusia hidup didunia ini memiliki tugas utama untuk beribadah yang termasuk di dalamnya adalah berlomba-lomba di muka bumi (mencari rejeki).

Nah dari sinilah timbul satu pertanyaan saat saya berjumpa dengan teman seperjalanan yang unik. Beliau ini memiliki prinsip “tawakal dulu baru takdir”. Beliau ini (IMHO) melupakan satu kata lain “usaha”. Kalau saya bilang, usaha dulu baru takdir menentukan dan saat itu lah kita tawakal (CMIIW). Kayaknya dengan prinsip seperti beliau itu, hidup ini kok rasanya pesimis betul (atau terlalu “nrimo”?) dan hal itu ternyata juga tercermin dalam sikap teman seperjalanan saya itu (at least sejauh saya lihat).

Beliau ini tidak membaca Koran dan tidak menonton televisi karena takut pengaruh buruk dari dua hal itu. Saya pandang hal ini merupakan wujud pesimisme terhadap kekuatan diri sendiri untuk bisa menangkis segala pengaruh buruk. Saya rasa pesimisme merupakan salah satu kata negative yang perlu dihindari. Beliau ini, dia katakan sendiri, tidak kenal dengan banyak tetangga. Hal ini didorong, dari beberapa pembicaraan, kemungkinan didorong kekawatiran timbulkan kegiatan bergosip, bersaing dan lain-lain. Bahkan, menurut cerita dia, saat berada di dalam satu kendaraan salah satu tetangga yang tidak dia kenal malah menegur.

Bagi saya semua hal berisi segala kemungkinan untuk beribadah. Baca Koran atau nonton TV, dengan niat yang benar, bisa menjadi kegiatan ibadah yang menyenangkan. Bertetangga dengan baik jelas dicontohkan dan direkomendasikan untuk dilakukan. Segala bentuk kegiatan yang “manusiawi” bisa menjadi bentuk ibadah dan membuka kesempatan kita untuk “berusaha” seolah-olah kita akan hidup 1000 tahun lagi. Ritual peribadatan memang harus dijaga kedisiplinan-nya, namun Yang Maha Esa memberikan fleksibilitas yang sangat luas untuk bentuk-bentuk ibadah lain. Bukankah mematikan sisi manusiawi di dalam diri untuk hanya melakukan ritual ibadah malah tidak dianjurkan?

Mungkin pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar porsi waktu yang harus kita luangkan untuk memenuhi kebutuhan vertical dan kebutuhal horizontal? Bagi saya, dan terus saya coba, adalah bagian horizontal bisa menjadi kegiatan vertical sehingga porsi waktu vertical kita bisa 100%. Mengenai cukup atau tidaknya hasil dari kegiatan horizontal kita, hal ini merupakan topic lain, yang jelas bagi laki-laki memberikan nafkah yang baik dan semaksimal mungkin dengan usaha sebaik mungkin merupakan bentuk ibadah yang mulia.

Jadi, menutup diri bukan merupakan solusi. Jepang saja akhirnya membuka diri dengan Restorasi Meiji. Yang jelas pondasi diperkuat sehingga percaya diri hebat , usaha yang kuat akan membuat hidup ini menjadi lebih bermakna. Semua ada di tangan om dan tante sekalian…

Budak KN…/…

1 comment:

AN said...

komentar dikit ya ...
kebutuhan vertical maupun kebutuhan horizontal harus seimbang dan saling mendukung, seperti tulisan diatas kegiatan horizontal (kegiatan sesama manusia) dapat mendukung kegiatan vertical dan menurut sy bisa sebaliknya kegiatan vertical berhubungan dgn kegiatan horizontal kita. mungkin contohnya umat muslim, kegiatan vertical menghadap maha pencipta apabila dilakukan secara berjamaah di tempat seharusnya (mesjid)akan tercipta kegiatan horizontal juga (mempererat tali silaturahmi), dengan kata lain kedua kegiatan/kebutuhan tersebut tidak boleh dipisah-pisahkan ...